Cerita ini aku tulis berdasarkan pengalaman pribadiku sendiri, sebuah kenangan yang terjadi sekitar tahun 2015 yang lalu, saat aku masih berusia 21 tahun dan sedang kuliah di salah satu universitas swasta di kawasan Dipati Ukur, Bandung. Sebut saja namaku Rian.
Sewaktu SMA, aku punya sahabat karib, namanya Doni. Kebetulan, kami juga sekampus sekarang. Karena saking akrabnya, hampir setiap malam aku menginap di rumah Doni yang berada di komplek perumahan Setiabudi. Rumah itu hanya ditinggali berdua: Doni dan kakak perempuannya, yang akan aku sebut Mbak Sarah. Kedua orang tua mereka tinggal dan bekerja di Tangerang. Sudah lebih dari enam bulan aku sering main dan menginap di sana.
Aku sangat menghormati Mbak Sarah. Usianya waktu itu 26 tahun, seumuran dengan kakak kandungku. Mbak Sarah sering mengajak aku dan Doni jalan-jalan dengan mobil Honda Jazz miliknya yang berwarna merah, biasanya setelah dijemput oleh pacarnya, Mas Arka. Kami biasanya pergi makan di Jalan Riau atau mencari kafe baru di Dago. Kalau malam Minggu, Mbak Sarah biasanya kencan dengan Mas Arka sampai larut malam. Kamar Mbak Sarah pasti tertutup rapat. “Sialan… pasti lagi ena-ena tuh!” batin aku.
Waktu itu, lagi musim-musimnya main game konsol generasi keempat. Mbak Sarah ternyata juga punya hobi yang sama. Kami bertiga sering main bareng. Yang aku ingat, Mbak Sarah kalau di rumah seringnya cuma pakai kaus longgar tanpa bra. Setiap ada kesempatan, mata aku pasti melirik ke arah tonjolan putingnya yang kecil dan berbentuk lucu. Entah Doni tahu atau tidak kalau kakaknya begitu. “Lumayan buat cuci mata,” batin aku.
Lama-kelamaan, aku dan Mbak Sarah jadi semakin akrab. Aku sering dimintai tolong untuk membelikan rokok Gudang Garam Signature kesukaan Mbak Sarah. “Rian, tolong beliin rokok Signature, yang merah, ya. Sekalian aja kamu beli rokok juga!” Mbak Sarah itu orangnya royal banget. Pernah suatu kali dia beli beberapa set perlengkapan outdoor yang harganya bisa buat beli motor. “Edan! Pikirku, duit sebanyak itu cuma buat kemah doang?”
Dia juga pernah membelikan aku kemeja flanel mahal dari sebuah butik di Trans Studio Mall. Waktu itu aku sempat tanya, kok beliinnya yang mahal banget, Mbak?
Mbak Sarah cuma tersenyum manis. “Makasih ya, Mbak,” ujar aku. “Mungkinkah Mbak Sarah… Ah, nggak mungkin!” batin aku dalam hati. Mustahil, soalnya Mbak Sarah sudah pacaran lama banget dengan Mas Arka.
Keluarga Doni memang keluarga kaya. Ortu mereka kerja di perusahaan telekomunikasi di Tangerang, punya anak dua: Doni dan Mbak Sarah. Masing-masing anak dijatah mobil satu.
Singkat cerita, malam itu malam Minggu. Seperti biasa, aku dan Doni baru selesai apel bareng pacar—maklum, pacar kami satu kos-kosan di daerah Ciumbuleuit. Jadi aku bisa nebeng Doni. Kami langsung pulang ke Setiabudi. Aku memang selalu dapat tugas nyopirin Doni kalau malam, karena Doni punya kelainan mata silinder yang membuatnya sangat terbatas beraktivitas di malam hari.
Begitu sampai di rumah, waktu itu sekitar jam 11 malam, mobil Mas Arka masih terparkir di halaman. “Anjing… jam segini belum pulang juga nih Mas Arka! Ngapain aja di kamar?” batin aku.
Aku parkir mobil di garasi. Doni turun duluan dan langsung masuk kamar. Setelah memarkir mobil, aku menyusul. Ternyata Doni sudah memegang stik game. “Rian, kita terusin main bola tadi!” ujar Doni. “Ayo, siapa takut!” jawabku. Kami pun asyik main game.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Saat sedang asyik main, tiba-tiba Mbak Sarah muncul di balik pintu dan masuk ke kamar Doni. “Mas Arka sudah balik, Mbak?” tanya aku.
“Sudah,” sahut Mbak Sarah. Mbak Sarah pun duduk di sebelah Doni. Kami main game sambil ngobrol santai.
“Wah, aku lapar, Don. Rian, aku ajak sebentar ya, beli nasi goreng langganan di dekat Cihampelas,” kata Mbak Sarah tiba-tiba.
“Oke, tapi aku sekalian beliin ya, Mbak,” jawab Doni.
“Rian, bentar ya. Aku ambil jaket dulu,” kata Mbak Sarah.
Akhirnya aku menemani Mbak Sarah beli nasi goreng. Waktu itu, Mbak Sarah memakai setelan piyama babydoll warna merah muda. Atasannya model U-can-see dan bahannya lumayan tipis, agak longgar. Dengan ukuran payudaranya yang tergolong lumayan, sekitar 34B, putingnya terlihat samar-samar membekas di baju itu. “Wah, kesempatan nih buat curi-curi pemandangan indah,” batin aku. “Dan semoga saja Mbak Sarah nggak tahu kalau aku punya pandangan jahil terhadap dirinya.” Sepanjang perjalanan, aku mulai curi-curi pandang ke payudara Mbak Sarah.
Yang aku heran, Mbak Sarah banyak termenung selama perjalanan. Aku sangat menghormati Mbak Sarah, tapi aku beranikan diri untuk bertanya, “Kenapa sih, Mbak? Setelah keluar dari rumah, kok banyak diamnya?” tanya aku sambil mencuri pandangan ke arah payudaranya.
Mbak Sarah hanya tersenyum kecut. “Nggak apa-apa, Rian. Biasalah, Mas Arka biangnya,” jawab Mbak Sarah.
“Oh… Mas Arka toh,” timpalku singkat. Aku nggak melanjutkan pembicaraan, takut Mbak Sarah marah.
Setelah beli nasi goreng, kami segera balik ke perumahan Setiabudi. Sampai di rumah, mobil masuk garasi, dan kami pun masuk ke rumah. Mbak Sarah berjalan duluan, lalu aku menyusul di belakangnya. Jarak kami saat itu cuma satu meter. Aku amati postur tubuh Mbak Sarah yang sedang berjalan di depanku. Tinggi badannya sekitar 162 cm, berat sekitar 52 kg, dengan postur tubuh yang ideal. Pinggulnya yang agak besar bergoyang seiring dengan langkahnya berjalan, sambil dia melepas jaket tipis yang dikenakan tadi. Mbak Sarah terus berjalan. Aku masih membisu berjalan di belakangnya.
Akhirnya, pandangan aku tertuju pada pantat Mbak Sarah. “Gilaa!! Kayaknya Mbak Sarah pakai G-string warna pink deh… Kelihatan sekali bayangan G-string yang dikenakan Mbak Sarah, dipadu dengan pantatnya yang sangat berisi. Maklum, dia maniak gym… Bikin nafsu aja!” batin aku dalam hati.
“Kenapa ya Mbak Sarah pakai G-string? Apa memang kebiasaannya atau pas malam Minggu aja, kalau jadwal Mas Arka ngapel?” pikiran nakal aku semakin menjadi-jadi.
“Ah, sudahlah. Mbak Sarah kan orang yang aku hormati. Nggak sopan kalau aku punya pikiran seperti itu,” batin aku mencoba menenangkan diri.
Sampai di kamar, Doni sudah terlelap di kasur dengan tangan masih memegang stik game. “Wah, Doni sudah tidur tuh, Mbak. Kecapean kali main game sendiri,” ujar aku. Sebenarnya aku sendiri juga kelelahan dan mengantuk akibat dari jalan-jalan sejak sore tadi.
“Yah, gimana sih Doni. Sudah dibelikan nasi goreng malah tidur,” sahut Mbak Sarah.
“Ya sudah, aku makan sendiri saja. Rian, kamu main game duluan aja ya, aku makan nasi ini dulu,” kata Mbak Sarah. “Oke deh, Mbak,” jawabku. Memang tadi pas aku ditawari makan, aku jawab masih kenyang, jadi Mbak Sarah hanya beli nasi bungkus buat dia saja.
Selama aku main game, dari sudut mata, aku tahu kalau Mbak Sarah selalu memperhatikan aku sambil mengunyah makanannya. Posisi duduk dia memang di depanku, sebelah kanan. Terus terang, aku jadi kikuk. Entah kenapa Mbak Sarah terus memandangiku. Akhirnya mental aku nggak kuat.
“Mbak, nih stiknya. Mbak nanti main sendiri aja ya, aku ngantuk, Mbak,” ujar aku mencoba memecahkan rasa grogi.
“Iya deh, tapi nanti kalau aku kesulitan di game ini, kamu bantuin aku ya,” jawab Mbak Sarah sambil tersenyum manis.
“Pasti, Mbak! Tenang aja,” timpalku sambil mulai mengatur posisi tidur di sebelah Mbak Sarah.
Saat itu, posisi aku di depan sebelah kiri Mbak Sarah, sedangkan Doni tidur di atas kasur. Aku pun mulai perlahan-lahan memejamkan mata, tapi mata ini tetap nggak bisa aku pejamkan. Aku tahu Mbak Sarah masih curi-curi pandang ke arahku sambil dia main game, tapi aku pura-pura nggak tahu saja.
Sekejap aku terpejam, aku melihat posisi Mbak Sarah sudah berada dekat dengan posisiku tidur. Antara sadar dan tidak, aku merasa wajah Mbak Sarah mendekat ke wajahku. Sebuah kecupan halus mendarat di pipiku. “Hah!!!???”
Aku pun kaget setengah mati. Aku lihat saat itu Mbak Sarah hanya tersenyum padaku.
“Marah ya?” tanya Mbak Sarah.
Saat itu aku sudah sepenuhnya sadar dan tahu apa yang baru saja dilakukan Mbak Sarah terhadapku. Mbak Sarah masih saja tersenyum padaku.
“Nggak kok, Mbak?! Kenapa?” jawabku. Saat itu posisi wajah Mbak Sarah hanya terpaut 20 cm. Aku bisa merasakan hembusan napasnya menerpa wajahku. Aku mulai memberanikan diri menatap wajah Mbak Sarah. Wajah yang cantik, dengan sapuan make-up tipis, tubuh yang bagus, membuat pikiran ini sudah mulai gelap.
Aku pun mulai berspekulasi kalau aku bisa berbuat lebih kepada Mbak Sarah.
Dengan perlahan-lahan, tangan aku memegang lengan kanan Mbak Sarah. Aku tanya ke Mbak Sarah lagi.
“Aku nggak marah kok, Mbak,” jawabku sambil tersenyum.
“Cuma kaget aja, kenapa kok Mbak nyium aku,” sahutku lagi.
Mbak Sarah cuma tersenyum. “Pengen aja nyium kamu,” jawab Mbak Sarah sambil tersenyum manis. “Bener-bener cantik nih Mbak Sarah,” batin aku dalam hati.
Selama ini Mbak Sarah yang aku hormati, ternyata berbuat sesuatu yang semula aku anggap nggak mungkin dilakukan olehnya. Apalagi Mbak Sarah sudah berpacaran dengan Mas Arka selama 4 tahun. “Aah… Persetan dengan rasa hormat!!! Rasa hormat ini harus aku buang jauh-jauh!”
Aku mulai memberanikan diri melakukan sesuatu yang lebih terhadap Mbak Sarah. Aku belai rambutnya sambil berujar, “Yah, nggak nyangka aja, Mbak,” seraya secara perlahan-lahan mulai aku dorong ke bawah kepala Mbak Sarah agar mendekat ke wajahku. Hanya sekitar berjarak 10 cm. “Aku suka banget sama Mbak,” ujar aku membalas pujian di hati.
“Mbak sudah lama menyukai kamu, Rian,” kata Mbak Sarah setengah berbisik.
“Haah… Nggak salah, Mbak?” kataku. “Mas Arka gimana?”
“Hush…” kata Mbak Sarah sambil menempelkan jarinya ke mulutku, isyarat agar aku tidak membicarakan masalah itu lagi.
Mbak Sarah mulai berani berbuat lebih. Bibirnya mulai melumat bibirku.
“Mmmh…” dengusnya.
Agak lama kami berciuman. Aku pun masih tidak percaya, apakah ini nyata atau cuma mimpi.
Instingku mulai beraksi. Sambil berciuman, aku belai-belai punggungnya yang berbalut baju babydoll yang tipis itu. Tangan kiriku membelai rambutnya yang harum.
Dadaku mulai bersentuhan dengan payudara Mbak Sarah yang kenyal. Terasa sangat hangat. Sebenarnya sering juga aku bercinta di hotel atau di kos dengan pacar-pacarku yang dulu, tapi dengan Mbak Sarah aku merasakan ini suatu kehormatan untuk bisa merasakan hangat tubuhnya.
Dengan posisi aku masih tiduran di lantai sedangkan Mbak Sarah duduk menghadap ke arahku, kami terus berciuman. Tangan Mbak Sarah masih bertumpu di lantai. Akhirnya ciuman tersebut aku lepas.
“Mbak, ada Doni lho… Ntar kalau ketahuan, aku nggak enak,” ujar aku setengah berbisik sambil melihat Doni yang sudah tertidur sangat lelap.
“Ke kamar aku aja yuk…” ajak Mbak Sarah sambil memandangku.
Dasar pikiran ini sudah terkotori oleh nafsu. Aku hanya mengangguk mengiyakan aja.
Pelan-pelan kami keluar dari kamar Doni, supaya Doni tidak terganggu tidurnya.
Sesampai di kamar Mbak Sarah, aku tiduran di kasur, sedangkan Mbak Sarah menutup pintu kamar dan menguncinya.
“Rian, di kulkas ada anggur tuh. Kalau mau ambil aja,” ujar Mbak Sarah sambil mengunci kamar. Kemudian Mbak Sarah menuju ruang ganti pakaian. Aku diam aja, nggak menjawab.
Aku masih belum bisa percaya 100% kalau yang aku alami malam ini adalah nyata. Pikiranku masih berpikir kalau ini mungkin mimpi.
Akhirnya Mbak Sarah keluar dari kamar ganti, mengenakan kimono sutera putih tipis. Dia tersenyum manis kepadaku. “Aah… mimpi apa aku semalam?”
Mbak Sarah kemudian duduk di sebelahku. Sambil menatapku, dia bilang:
“Rian, jangan bilang ke Doni ya…” pintanya.
“Iya, Mbak,” sahutku pura-pura bego. Ya iyalah, masa aku harus ngomong ke Doni kalau kakaknya mau aku tidurin. Gila apa! Bisa dimusuhi seumur hidup aku, hehe.
“Kamu nggak marah kan, Rian?” tanya Mbak Sarah lagi.
“Nggak, Mbak,” jawabku dengan menatap wajahnya yang cantik, sambil tangan aku mulai memegang lengannya yang hangat. Aku usap perlahan-lahan. Kemudian tangan kiriku mulai memegang lengannya yang sebelah kiri dengan lembut. Perlahan-lahan mulai aku tarik lengan Mbak Sarah supaya badannya mendekat ke arahku. Entah dari mana keberanianku muncul. Yang jelas, tidak ada akibat tanpa sebab, betul nggak! Sambil berbaring, aku mulai mengecup dahi Mbak Sarah, merambat ke mulut Mbak Sarah. Bibir yang hangat itu mulai aku lumat dengan lembut. Tangan Mbak Sarah mengusap-usap rambutku sambil sesekali memegang pipiku.
Aku beranikan tangan ini meremas-remas pinggul Mbak Sarah yang hangat. Mbak Sarah pun membalas dengan meremas paha dalamku. Sambil berciuman, tangan aku mulai merambat ke pantat, sambil mengusap pantat Mbak Sarah dan sesekali meremas pantatnya. “Hsssh…” gumam Mbak Sarah ketika aku meremas pantatnya dengan kencang.
Tiba-tiba Mbak Sarah melepaskan ciumannya. Kemudian dia mulai menciumi wajahku. Dikecupnya mataku satu per satu, merambat ke telingaku. Tangannya yang kanan tidak henti-hentinya meremas kemaluanku yang sudah membesar.
“Bajunya dibuka ya, Rian,” pintanya.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mbak Sarah mulai membuka kancing bajuku.
OMG… mimpi apa aku semalam! Aku cuma menikmati apa yang Mbak Sarah perbuat.
Matanya begitu sayu ketika dia mulai menciumi leherku. Satu per satu pakaianku mulai terlepas. Tangannya begitu terlatih meremas seluruh bagian vital tubuhku. Akhirnya, dengan nekat aku mencoba menyentuh puting Mbak Sarah yang masih terbalut pakaian tidur.
“Aah… Rian, kamu mulai nakal ya,” kata Mbak Sarah sedikit membisik di telingaku.
Tak peduli ucapan Mbak Sarah, aku mencoba untuk duduk sambil terus memainkan putingnya, sedangkan Mbak Sarah sibuk menciumi perutku. Hanya tinggal celana dalam saja yang menempel di tubuhku. Sangat terasa kalau puting mungil Mbak Sarah mulai mengeras.
“Terus, Rian… Aku sayang kamu,” kata Mbak Sarah sambil terus meremas kemaluanku.
Tangan Mbak Sarah mulai sibuk untuk membuka celana dalamku. Karena posisiku duduk, Mbak Sarah agak kesulitan untuk menurunkan celana dalam yang aku kenakan. Akhirnya, aku sedikit angkat badan. Akhirnya terlepas juga celana dalam yang menutupi kemaluanku yang sudah mengeras sejak tadi. Begitu terlepas celana dalamku, malah Mbak Sarah mulai menciumi selangkanganku, dan tanpa sekalipun tangannya memegang zakarku yang sudah berdiri. Tangannya hanya memainkan buah zakarku. “Ah, kenapa nggak langsung dipegang aja,” pikirku. Tapi di sinilah letak kenikmatannya.
Mbak Sarah nggak henti-hentinya menciumi selangkanganku sambil sesekali mengulum buah zakarku satu per satu. “Mbak… enak, Mbak…” desisku sambil mencium kepalanya yang berada di atas perutku.
Akhirnya, saat yang aku nantikan tiba. Tangan Mbak Sarah mulai menggenggam zakarku yang semakin keras.
“Keras sekali punyamu, Rian, aku suka banget,” ucapnya sambil memandangku dengan senyum manisnya. Aku pun membalas dengan senyum nyengir nakal. “Ah, Mbak Sarah… dirimu cantik sekali,” ucapku dalam hati.
“Emang punya Mas Arka nggak kayak punyaku, Mbak?” tanyaku memancing.
“Aah… nggak usah sebutin nama Arka,” sahutnya. Akhirnya aku diam aja.
Mbak Sarah kayaknya kehilangan mood ketika aku menyebut nama Arka. Dia cuma diam aja. “Waduh, begonya diriku, merusak suasana hati Mbak Sarah,” batin aku.
“Kalau sama Mas Arka marah, kan masih ada aku sebagai gantinya, Mbak,” ujar aku mulai menebar jaring pesona.
“Emang kamu mau, Rian? Mau jadi pacarku? Kamu kan teman akrab adikku!” ucap Mbak Sarah sambil tertawa.
“Aku bisa dimarahin sama Doni ntar,” lanjut Mbak Sarah.
“Yang pasti bisa bikin Mbak senang aja aku udah senang kok!” ujar aku ngegombal.
“Aah, Rian…” Mbak Sarah mulai melumat bibirku lagi. “Aah, akhirnya mood-nya membaik,” pikir aku.
Tangan Mbak Sarah mulai mengusap kepala zakarku dengan lembut. Diusap kepala zakarku dengan penuh perasaan. Kebayang kan gimana enaknya.
Kepala Mbak Sarah mulai menurun. Dengan kedua tanganku yang memegang rambut Mbak Sarah, seraya melihat gerakan Mbak Sarah yang mulai menciumi kepala zakarku.
Aku mulai merasakan kalau Mbak Sarah nggak hanya menciumi, tapi juga mengulum, sesekali menggigit ringan kepala zakarku.
“Rian, kamu sudah terangsang ya? Nih air beningnya sudah keluar,” ucap Mbak Sarah.
“Iya nih, Mbak. Habisnya enak banget,” sahutku. “Ya iyalah, masa digituin sama cewek cantik nggak terangsang, impoten kali!” ujar aku dalam hati.
Mbak Sarah dengan perlahan mulai mengulum zakarku. Terasa hangat ketika mulut Mbak Sarah yang mungil mulai mengulum kemaluanku. Dengan gerakan naik turun, kepala Mbak Sarah mengikuti irama sambil tangannya memainkan buah zakarku, sesekali menyentuh anusku. “Hihi, geli!”
Sesekali zakarku ini dimasukkan penuh ke dalam mulut Mbak Sarah.
“OMG… enaknya!” Terasa sekali kalau kepala zakarku menyentuh kerongkongan Mbak Sarah.
Sangat hangat dan basah dan penuh.
Dengan tangan yang terus bergerak naik turun di zakarku, Mbak Sarah juga mengulum buah zakarku satu per satu.
“Mbaak… enak banget…” ucapku sambil menjambak rambut Mbak Sarah.
Hampir saja pertahananku hancur jika tidak aku tarik kepala Mbak Sarah untuk segera mengakhiri permainannya. “Fuih… hampir saja,” batin aku. Untung aku sering latihan senam Kegel yang fungsinya untuk mengontrol ejakulasi.
“Mbak, Rian sayang sama Mbak,” ucapku sedikit ngegombal, sambil menarik tubuh Mbak Sarah untuk aku rebahkan ke kasur. Mbak Sarah nggak menjawab, hanya sorot matanya yang menjawab pasrah.
Akhirnya aku lepas baju tidur Mbak Sarah. Nampak payudara dengan bentuk yang indah, menantang untuk dilumat. Benar dugaan aku dari tadi. Ternyata Mbak Sarah memakai G-string warna pink yang tadi sempat aku amati sewaktu melihat Mbak Sarah berjalan.
Dengan perlahan aku dekatkan wajahku. Kemudian aku lumat lagi bibirnya sambil tangan kananku memainkan puting Mbak Sarah yang sudah mengeras sejak tadi. Sedikit sentilan dan cubitan lembut yang aku lakukan pada puting Mbak Sarah membuat Mbak Sarah semakin blingsatan. Kemudian ciuman bibir aku lepas, lalu aku ciumi dan aku lumat leher Mbak Sarah. Dia mendesis-desis. “Terus, sayang,” ucapnya sambil menjambak rambutku. Tanganku tak henti-hentinya memainkan puting Mbak Sarah. Aku arahkan ciuman dari leher kemudian menurun di payudara Mbak Sarah.
“Dihisap, sayang… Please…” ucap Mbak Sarah seraya matanya memejam. Mulutku mulai mengecup puting Mbak Sarah sebelah kanan. “Aaahh… Rian, aku sayang kamu,” ucap Mbak Sarah. Aku mainkan putingnya dengan lidahku, seraya sesekali aku gigit dengan mesra. “Aah, pintar kamu, Rian,” ucap Mbak Sarah sambil menjambak rambutku.
Ciumanku mengarah ke putingnya sebelah kiri seraya tangan aku memainkan gundukan kecil yang tertutupi oleh G-stringnya. Aku buka perlahan selangkangan Mbak Sarah. Sambil mulut ini terus menciumi dan melumat payudara Mbak Sarah, aku usap gundukan yang memiliki rambut yang lebat tapi tertata rapi tersebut dengan lembut, tanpa sekalipun aku menyentuh klitorisnya. Aku permainkan jari ini hanya menyentuh area selangkangannya aja. Hal ini membuat Mbak Sarah semakin blingsatan.
“Tolong dibuka, sayang, please buka celana aku,” ucapnya memohon.
Tanpa dikomando lagi, aku akhirnya melepaskan ciumanku di putingnya untuk membuka celana dalam Mbak Sarah. Saat itu, Mbak Sarah hanya telentang pasrah sambil mengangkat pantatnya untuk memudahkan aku melepas celana dalamnya. Begitu terlepas, aku mencoba mencium harum gundukan kecilnya itu.
“Jangan, Rian… Kotor, tadi aku habis pipis belum sempat cuci,” sergah Mbak Sarah. OMG, ternyata Mbak Sarah nggak pedé dengan kondisinya.
“Nggak apa-apa, Mbak. Rian suka kok sama semua yang ada pada Mbak,” ucapku untuk membesarkan hatinya.
“Alangkah bodohnya lelaki yang nggak mau mencium punya Mbak,” ujar aku sambil tersenyum pada Mbak Sarah.
Aku lumat lagi bibirnya sambil memainkan jari ini di sekitar lubang kenikmatan Mbak Sarah, dan sesekali menjambak bulu kemaluannya secara perlahan, tanpa sekalipun menyentuh klitoris dan lubang kenikmatan Mbak Sarah.
Bisa dibayangkan betapa menderitanya Mbak Sarah jika klitorisnya nggak tersentuh sama sekali oleh tanganku yang nakal. Tapi ini memang strategi yang aku lakukan tiap bercinta dengan setiap pacar-pacarku terdahulu. “Biarlah nanti klitoris dan lubang serambi lempit Mbak Sarah hanya tersentuh oleh bibirku saja,” batin aku, hehehe.
Saat itu, posisi kami telentang miring dengan posisi kepalaku menghadap kemaluan Mbak Sarah, dan Mbak Sarah menghadap selangkanganku.
“Rian… Please jangan siksa aku seperti ini, pakai jarimu, Rian,” pinta Mbak Sarah sambil terus mengulum kemaluanku dan memainkan kepala zakarku dengan lidahnya. Tapi aku cuek aja. Aku ciumi paha Mbak Sarah, aku arahkan mulutku ingin melumat klitoris Mbak Sarah. Tiba-tiba kepalaku ditarik oleh Mbak Sarah.
“Jangan, Rian… Jangan… Kotor, aku malu,” ucap Mbak Sarah seraya menarik kuat lenganku.
“Nggak apa-apa, Mbak. Rian ingin melakukan ini demi Mbak Sarah,” ucapku untuk menyenangkan hati Mbak Sarah.
“Jangan, sayang… Pakai jari aja…” pintanya memohon.
Wah, Mbak Sarah benar-benar nggak pedé dengan vaginanya, yang jelas-jelas putih bersih dengan bulu yang lebat.
Akhirnya aku mengalah. Lenganku ditarik Mbak Sarah. Diciuminya mulutku sambil tangannya terus mengusap-usap batang zakarku.
Aku disuruh Mbak Sarah terlentang. Kayaknya Mbak Sarah sudah nggak kuat nahan gejolak nafsunya yang sudah sangat tinggi. Dengan setengah berjongkok, Mbak Sarah mulai mengangkangi tubuhku. Dia sudah sangat kepengin untuk melakukannya.
Dipegangnya kemaluanku. Diarahkan ke mulut vaginanya. Aku pikir pasti mau dimasukkan ke liang vaginanya. Ternyata dugaan aku salah. Kepala zakarku hanya disentuh-sentuhkan dan digesek-gesek ke arah klitorisnya yang sudah mulai basah.
“Aaaah… sshh…” desis Mbak Sarah seraya memejamkan mata. Diusapkannya secara terus-menerus kepala zakarku ke klitorisnya dengan lembut.
“Aah… Rian… Aku sayang kamu… sshh…” racau Mbak Sarah.
Akhirnya, secara kontinu Mbak Sarah mengusap-usap kepala zakarku ke klitorisnya. Dan tanganku nggak tinggal diam memilin-milin puting Mbak Sarah.
Dengan cara digenggam batang zakarku kemudian ditekan agak keras ke klitoris, gosokan kepala zakarku terasa semakin cepat dan cepat. Akhirnya Mbak Sarah mendesis panjang.
“Aaaah… Sayang… Aku keluaaar…” desis Mbak Sarah sambil bergetar seluruh badannya. Tangannya tak henti-hentinya menggenggam batang zakarku dan menggosok-gosokkan ke klitorisnya secara terus-menerus dan cepat. Napasnya memburu, degup jantungnya tak beraturan. Aku lihat setetes keringat di dahinya. Aku usap keringat itu dengan ibu jariku. Mbak Sarah tersenyum sangat manis kepadaku.
“Aah, Rian… Aku sudah keluar duluan,” ujarnya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa ‘kan, sayang?” tanya Mbak Sarah sambil badannya dirapatkan ke badanku.
Tangannya masih sibuk mengusap-usap dan tak henti-hentinya mengurut batang zakarku. Aku cium dahi Mbak Sarah. “Nggak apa-apa, Mbak,” kataku sambil membelai rambutnya yang harum. Aku usap semua keringat yang menempel di kening Mbak Sarah.
Degup jantung dan napas Mbak Sarah sudah mulai teratur. Dengan kondisi tubuh yang masih berada di atasku, kami hanya terdiam membisu. Hanya usapan-usapan lembut aja yang masih aku lakukan di pinggul dan punggung Mbak Sarah yang basah karena peluhnya, supaya dia merasa tenang dan nyaman. Kemaluanku masih saja berdiri tegak. Dengan kondisi tubuh yang mengangkang tidur di atasku, otomatis kemaluanku masih menempel di sela-sela selangkangan dan menyentuh liang kewanitaan Mbak Sarah. Terasa hangat di situ. Ingin rasanya segera menyetubuhi Mbak Sarah, tetapi melihat kondisinya yang tiduran di atasku dengan nyaman, aku mengalah untuk mendiamkannya saja.
“Pasti capek Mbak Sarah,” batin aku. Aku mencoba melirik wajahnya yang berada sedikit di bawah kepalaku. “Eh… ternyata Mbak Sarah terpejam matanya, dan irama napasnya sudah sangat teratur…” Ternyata Mbak Sarah sudah tertidur.
“Kurang ajar nih…” ucapku dalam hati. Mana kondisi kemaluanku masih berdiri tegak lagi, malah Mbak Sarah tertidur.
Aku melirik ke jam tanganku. Saat itu waktu menunjukkan jam 1.45 dini hari. Semoga saja Doni nggak bangun dan nggak curiga, melihat aku tidak ada di kamarnya. Mau ditaruh mana mukaku jika ketahuan aku meniduri kakak kandungnya.
Cukup lama Mbak Sarah terdiam. Akan tetapi tiba-tiba Mbak Sarah membuka matanya. Ternyata dia tidak tertidur seperti dugaan aku. Mungkin saja dia sangat menikmati jeda setelah dia orgasme secara klitoral. Matanya langsung menatap ke arahku.
“Sori ya, Rian… Hampir aja aku ketiduran,” kata Mbak Sarah memecah kesunyian.
“Tadinya aku pikir Mbak Sarah tertidur,” balasku sambil tersenyum.
Mbak Sarah tidak membalas senyumku, tapi bibirnya langsung mengecup lembut bibirku.
“Mmuahhh…” desis Mbak Sarah sambil tangannya bergerak melonggarkan tubuhnya yang sedari tadi menghimpit tubuhku, dan langsung berbaring di sampingku. Lengannya menggelayut manja memelukku. Posisi paha kaki kanannya dia tindihkan di pahaku rapat-rapat. Sangat terasa di pahaku ketika bersentuhan dengan pangkal paha Mbak Sarah, terasa hangat dan lembap. Bulu kemaluannya terasa menggesek pahaku. Membuat aku semakin ingin segera menuntaskan hasratku yang belum tersalurkan.
“Rian, tolong kamu jangan menganggap aku yang nggak-nggak ya,” kata Mbak Sarah sambil tangannya mengusap pipiku.
“Nggak kok, Mbak… Hanya saja Rian merasa kaget,” balasku.
“Aku melakukan ini karena aku tuh sayang sama kamu, Rian,” lanjut Mbak Sarah.
“Rian pun sebenarnya sudah lama mengagumi Mbak Sarah, terutama wajah Mbak,” sahutku.
“Aah… semua lelaki sama aja, sukanya ngegombal,” jawab Mbak Sarah sambil mencibir.
“Kalau aku perkecualian ‘kan,” sergahku sambil tersenyum.
“Ihh… pintar ya ngerayu,” kata Mbak Sarah sambil mencubit perutku. Aku balas mencubit payudaranya yang menggelayut menempel di tubuhku.
“Aaw… nakal ya!” jerit Mbak Sarah. Bibirnya sontak langsung melumat bibirku penuh hasrat. Aku pun membalas ciuman Mbak Sarah tak kalah sengit. Sangat dahsyat ciuman Mbak Sarah, terasa kalau ciumannya sangat agresif, seolah-olah dia ingin melumat apa yang ada di diriku. Aku putar tubuhku menghadap ke arah Mbak Sarah. Aku peluk tubuhnya. Sambil mulut kami bertautan, tangan aku mulai bergerilya ke arah pantat Mbak Sarah. Aku remas-remas pantat Mbak Sarah secara bergantian. Sesekali tanganku mencoba menyusup ke liang vaginanya yang terhimpit di antara pantat Mbak Sarah yang kenyal. Masih terasa sangat basah di sana.
Mbak Sarah tahu kalau aku agak kesulitan untuk mempermainkan lubang kewanitaannya jika posisi kakinya berada di atas pahaku. Dia lalu menggeser kakinya lebih ke atas lagi hingga kaki Mbak Sarah menggayut di pinggangku. Sedikit ubahan posisi tadi membuat diriku semakin leluasa untuk menjelajah daerah kewanitaan Mbak Sarah.
Di tubuh Mbak Sarah memang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus, terutama di daerah tangan. Dulu aku sempat membayangkan, di saat melihat tangan Mbak Sarah ditumbuhi bulu halus, pasti dia memiliki rambut kemaluan yang lebat. Dan ternyata benar seperti dugaan aku. Bahkan di sekitar anusnya pun, aku merasakan kalau jari aku ini menyentuh rambut halusnya di sekitar anus dan liang kewanitaannya. Aku mencoba untuk memainkan jari aku di area itu. Dengan gerakan memutar, jari aku ini mencoba membelah liang kewanitaannya.
“Aah, Rian…” desis Mbak Sarah. Melihat Mbak Sarah merasa keenakan, aku pun mencoba untuk berbuat lebih. Ujung jariku yang basah oleh cairan kewanitaan Mbak Sarah, aku coba usapkan di klitoris Mbak Sarah. Mbak Sarah menggelinjang keenakan saat aku menyentuh kepala klitorisnya yang sudah mulai menegang. Ada ritme tertentu yang aku lakukan untuk memainkan area kewanitaan Mbak Sarah. Kadang jariku menelusup di liang kewanitaannya dan sesekali jariku ini aku usapkan lembut di klitoris Mbak Sarah. Ada kalanya juga jariku ini aku mainkan di bibir anus Mbak Sarah.
“Aaw, Rian! Geli!” ucap Mbak Sarah sambil menggelinjang keenakan saat jariku menyentuh daerah anusnya yang agak basah dikarenakan cairan serambi lempit Mbak Sarah.
Di saat tubuh kami saling berhimpitan, Mbak Sarah mencoba untuk meraih zakarku yang sejak dari tadi berdiri tegak. Terasa agak linu di zakarku. “Mungkin karena terlalu lama berdiri kali,” batin aku.
Dengan antusias digenggamnya zakarku. Dengan gerakan naik turun, tangan Mbak Sarah yang halus terus mempermainkan kemaluanku. Aku pun nggak mau kalah, tangan aku terus mainkan jarinya di area kewanitaan Mbak Sarah menyusupi pantat Mbak Sarah.
Mbak Sarah terus meracau. Dengus napasnya semakin memburu. Melihat mulutnya mengeluarkan desah-desah, membuat aku segera menutup mulutnya dengan mulutku. Kami pun berciuman dengan ganas. Desahan demi desahan keluar dari mulut Mbak Sarah tatkala tanganku menelusup masuk di liang kewanitaannya.
“Dimasukin aja ya, Mbak?” pintaku.
Mbak Sarah menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tubuhnya bergerak ke atas mengangkangi pahaku. Dengan posisi Mbak Sarah di atas, aku sangat leluasa untuk melihat segala keindahan tubuh Mbak Sarah. Dengan wajah yang cantik, bentuk payudaranya yang sangat menantang, puting yang kemerahan dengan bintik-bintik kecil di sekitarnya. Wanita yang terangsang biasanya kelenjar pori-pori di sekitar puting akan membesar, di samping puting dan payudaranya juga mengeras. Pandangan aku tertuju pada rambut kemaluannya.
Dengan kulit putih ditambah kemudian bulu kemaluannya yang lebat tetapi tertata rapi, membuat diriku semakin ingin segera menyetubuhinya.
Kemudian digenggamnya batang zakarku. Dituntunnya menuju ke liang vaginanya. Dengan lembut diusap-usapkan kepala zakarku di mulut kemaluannya. Terasa hangat. Kepala zakarku nampak basah mengkilat dikarenakan cairan serambi lempit Mbak Sarah menempel di kepala zakarku. Mbak Sarah nampak menikmati gesekan-gesekan lembut antara kepala zakarku dan klitorisnya. Aku pun nggak tinggal diam. Aku remas payudara Mbak Sarah dengan lembut. Aku pilin dengan lembut puting Mbak Sarah dengan ibu jari dan telunjukku. Mbak Sarah nampak terengah-engah menahan nafsunya yang menggebu-gebu.
Kemudian secara perlahan-lahan dia menuntun zakarku di liang vaginanya. Dengan posisi jongkok di atas tubuhku, Mbak Sarah mencoba memasukkan zakarku yang digenggamnya ke liang kenikmatannya. Mbak Sarah terlihat menahan napas tatkala kepala zakarku mulai memasuki liang vaginanya.
“Uuufhh…” desah Mbak Sarah merasa keenakan. Dia menghela napas ketika kepala zakarku saja yang baru masuk liang vaginanya. Terasa hangat dan basah yang aku rasakan di kepala zakarku. Setiap mencoba memasukkan zakarku ke liang vaginanya, Mbak Sarah terlihat menahan napas dan memejamkan matanya menahan birahi yang menggebu pada dirinya. Dia mencoba memasukkan zakarku lagi dengan menurunkan lagi tubuhnya.
“Ssshhh…” desisnya tatkala semua bagian zakarku telah memasuki liang vaginanya. Tangan Mbak Sarah bertumpu di dadaku dan meremasnya. Mungkin dia merasakan sensasi yang hebat saat itu. Aku lihat Mbak Sarah hanya terpejam sambil mengatur posisi tubuhnya yang berada di atasku.
“Rian… enak banget, sayang,” desis Mbak Sarah sambil terpejam matanya. Aku membalas ucapannya dengan memberi remasan di pantatnya. Sungguh sangat nikmat yang aku rasakan. Zakarku terasa dijepit oleh sesuatu yang hangat, basah, dan lembut sekali.
Beberapa saat kami hanya terdiam sambil merasakan sensasi yang hebat itu. Aku pun memejamkan mataku mencoba untuk serileks mungkin. “Aah… sangat nikmat yang aku rasakan,” batin aku. Tetapi dengan perlahan Mbak Sarah mencoba menaikkan pantatnya dan menurunkan pantatnya. “Aawh…” Kembali Mbak Sarah menjerit kecil ketika menurunkan kembali pantatnya memasukkan zakarku ke liang vaginanya. Badannya terlihat gemetar kecil ketika mencoba menaikkan tubuhnya lagi. Dengan terengah-engah dia mencoba lagi memulai gerakan naik turun. Mbak Sarah kemudian mencoba merapatkan tubuhnya ke tubuhku dan menciumi mulutku lagi.
Dengan cepat aku sambar mulutnya yang tengah mendesah. Aku peluk tubuhnya. Tanganku terasa basah oleh peluhnya saat memeluk Mbak Sarah. Mulut kami saling melumat, dan Mbak Sarah terus melakukan gerakan menaik-turunkan pantatnya.
“Aah… aah… sshh…” racau Mbak Sarah keenakan. Dengan tangan kiri merangkul Mbak Sarah, kemudian aku turunkan tangan kananku untuk menggapai pantat Mbak Sarah. Tanganku sedikit membantu mengatur irama goyangan Mbak Sarah sambil mencengkeram pantatnya.
“Terus, Mbak,” ujar aku sambil mencoba mempercepat gerakan tanganku di pantat Mbak Sarah yang sedang bergerak naik turun. Mbak Sarah seperti kuda yang binal. Semakin lama gerakannya semakin liar dan beringas. Dia kemudian melepaskan ciumannya, kemudian tangannya bertumpu di dadaku. Dengan jari yang mencengkeram di dadaku, dia mencoba mempercepat gerakan pantatnya. Rambut Mbak Sarah terlihat awut-awutan. Ditambah peluh yang terlihat di keningnya menambah kecantikan Mbak Sarah. Tubuh kami sudah basah oleh keringat. Entah keringat Mbak Sarah yang menetes di tubuhku, atau keringatku yang menempel di perut Mbak Sarah.
“Gantian ya, sayang… Aku capek,” kata Mbak Sarah sambil mengangkat tubuhnya. Begitu terlepas dari liang kewanitaan Mbak Sarah, nampak sekali zakarku mengkilat akibat dilumuri lendir kewanitaan Mbak Sarah.
Mbak Sarah mengecup keningku dan tersenyum. Mbak Sarah kemudian mengatur posisi telungkup di pinggir kasurnya. Aku melihat Mbak Sarah mengambil bantal, kemudian menyusupkannya di bawah perutnya sendiri, dan kemudian dia angkat pantatnya lagi. Jelas sekali kalau Mbak Sarah menginginkan disetubuhi dari belakang.
“Sini, sayang…” kata Mbak Sarah dengan mata sayu. Tanpa membuang waktu, aku pun segera berdiri di belakang Mbak Sarah. Tanpa basa-basi aku segera mengarahkan zakarku ke arah liang serambi lempit Mbak Sarah. Mbak Sarah dengan posisi lutut di kasur mencoba mempermudah jalannya masuk zakarku. Sangat jelas terlihat kemaluan Mbak Sarah yang masih rapat, ditumbuhi bulu-bulu halus di pinggiran liang kewanitaan dan anusnya. Benar-benar pemandangan yang menggairahkan. Aku arahkan zakarku ini secara perlahan di mulut vaginanya. Tangan Mbak Sarah mencoba membantu mengarahkan tepat di lubang vaginanya yang basah oleh lendir. Setelah aku rasa cukup pas, aku mencoba mendorong pantatku ke depan secara perlahan.
“Aaakh…” desis Mbak Sarah ketika zakarku mulai memasuki liang vaginanya.
“Masukin terus, sayang…” pinta Mbak Sarah.
Aku pun segera memasukkan zakarku secara penuh di liang serambi lempit Mbak Sarah.
“Oowh… Rian!” jerit Mbak Sarah ketika aku memasukkan semua zakarku di liang vaginanya.
Kemudian aku mencoba menggerakkan pantatku maju mundur secara perlahan-lahan. Dengan kedua tanganku yang mencengkeram pantat Mbak Sarah, aku coba bergerak maju mundur dengan ritme yang pelan-pelan. Terasa sangat puas ketika aku menyadari kalau aku ini nggak mimpi bisa menyetubuhi Mbak Sarah.
“Terus, Rian… Terussh…” Mbak Sarah pun semakin blingsatan ketika aku mulai mempercepat gerakan maju mundur. Keringatku mulai nampak di pori-pori seluruh tubuhku. Sambil bergerak maju mundur, ibu jariku mencoba untuk mengusap lubang pantat Mbak Sarah yang sudah basah dengan lendir serambi lempit. Dengan rasa iseng, aku mencoba memasukkan ibu jariku ke anus Mbak Sarah. Yang aku takutkan jika Mbak Sarah tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Terasa susah memang ibu jariku untuk memasuki anus Mbak Sarah, walaupun berlendir. Dikarenakan Mbak Sarah, setiap aku bergerak maju mundur, selalu kelihatan mengejan dan tegang.
“Aaah… sayang, jangan di situ… kotor,” ujar Mbak Sarah di sela-sela erangannya yang membuat birahiku semakin tinggi. Ternyata Mbak Sarah nggak marah jika aku mengusap sesekali menekan ibu jariku ke anusnya.
“Sakit nggak, Mbak?” tanyaku sambil mencoba menekan ibu jariku agak keras ke area anus Mbak Sarah.
“Ehh… nggak, sayang… Cuma geli… enaaks…” racau Mbak Sarah sambil merasakan sensasi itu dengan mata terpejam. Gerakan pantatku semakin aku percepat, sedangkan ibu jariku sudah terbenam di anus Mbak Sarah sedalam kuku ibu jari. Terasa hangat ibu jariku. Sebenarnya sejak dulu aku pengen sensasi bagaimana rasanya berhubungan secara anal. Tapi siapa yang mau? Ada banyak artikel yang memuat jika berhubungan secara anal, 2 dari 10 wanita saja yang merasa menikmati berhubungan dengan cara tersebut. Akan tetapi, jika melihat Mbak Sarah merasakan enak jika aku memasukkan ibu jariku ke anusnya, membuat diriku kepengin berbuat lebih dengan Mbak Sarah. Aku juga sering membaca tutorial bagaimana melakukan hubungan anal dengan aman di internet.
“Ahh, inilah saatnya yang tepat, semoga saja Mbak Sarah mau,” ujar aku dalam hati.
“Mbak, pernah dimasuki di anus belum?” tanyaku hati-hati, takut aja kalau Mbak Sarah tidak suka dengan pertanyaanku.
“Belum… Emang enak ya, ‘kan itu kotor, Rian?” jawab Mbak Sarah.
Nah, ini dia saat yang tepat untuk memulainya.
“Enak kok, Mbak, asal dilakukan dengan benar,” jawabku mantap, sekadar untuk meyakinkan Mbak Sarah untuk tidak perlu takut jika berhubungan dengan anal.
“Mau nyoba nggak, Mbak?” tanyaku berharap. “Harap-harap cemas niih…!!!” batin aku.
“Kira-kira sakit nggak, sayang… Aku takut?” sambung Mbak Sarah lagi dengan mimik muka agak ragu.
“Enggak, Mbak… Rian juga belum pernah sih. Tapi katanya enak kok,” kataku agak berbohong.
“Dicoba ya, Mbak,” ujar aku sedikit berharap-harap cemas. Ya takut lah kalau dia hilang mood-nya gimana coba?
Mbak Sarah tidak menjawab, hanya wajah yang agak kebingungan ketika aku melepas zakarku dari vaginanya. Akan tetapi ibu jariku masih menancap dan sedikit di anusnya.
“Sakit nggak, Mbak?” tanyaku lagi sambil sedikit memasukkan ibu jariku yang basah oleh lendir serambi lempit Mbak Sarah lebih ke dalam lagi.
“Hmm… nggak sakit kok, sayang… Cuma geli, tapi enak,” jawab Mbak Sarah sambil tersenyum dengan tatapan mata yang sayu.
“Yess!” teriakku dalam hati melihat respons Mbak Sarah yang agaknya menyukai caraku tersebut.
“Aku sering baca artikel kok, Mbak, kalau kita melakukan dengan benar tidak akan sakit, malah sangat enak,” ucapku berusaha meyakinkan dia lagi seraya tangan kiriku mengusap klitorisnya. Memang jika kita mau melakukan hubungan anal, kita harus pintar-pintar mengalihkan rasa sakit si cewek dengan cara merangsang dia lebih banyak lagi. Sebagai contoh, kita merangsang klitorisnya atau area mana yang membuat dia merasa sangat nikmat. Cara ini terbukti cukup efektif ketika aku melakukan anal lagi dengan pacarku di tahun-tahun selanjutnya. Hanya saja, dengan Mbak Sarah ini adalah pengalamanku melakukan anal yang pertama kali.
“Ssh… iya, sayang…” ucap Mbak Sarah sambil menikmati usapan jariku pada klitoris dan anusnya.
Dengan perlahan aku mencabut ibu jariku dari anus Mbak Sarah agar Mbak Sarah tidak merasa sakit.
Posisi saat itu Mbak Sarah masih menungging di pinggiran kasurnya, sedangkan aku masih berdiri di belakang Mbak Sarah. Dengan air ludah, aku mencoba memberi pelumas pada kepala dan batang zakarku. Soalnya jika kita melakukan anal, haruslah menggunakan pelumas yang banyak.
Aku tuntun kepala zakarku ke anus Mbak Sarah, dan aku gesek-gesekkan ke anus Mbak Sarah sambil melihat reaksi Mbak Sarah. Dia hanya terdiam sambil sesekali matanya terpejam merasakan sensasi baru yang dia rasakan.
“Mbak Sarah, coba tangannya ke sini ya… Rileks aja ya, Mbak,” kataku sambil menuntun tangan dan jari Mbak Sarah ke arah klitorisnya sendiri.
“Umpama nanti agak sakit, tolong diusap-usap agak cepat ya, Mbak, nanti sakitnya akan hilang,” ujar aku sambil meyakinkan Mbak Sarah yang merasa agak ragu.
Tangan Mbak Sarah pun mengusap-usap klitorisnya. Terlihat jika Mbak Sarah menikmati usapannya sendiri pada klitorisnya. Aku pun mencoba menekan zakarku yang sudah mengkilap oleh lendir serambi lempit Mbak Sarah dan air ludahku sendiri ke anusnya dengan perlahan-lahan. Agak susah memang untuk memasukkan zakar ke anus. Apalagi jika si cewek sudah tegang merasa takut duluan, pasti susah banget masuknya.
“Sssh… aahh,” desis Mbak Sarah seraya memainkan jari pada klitorisnya sendiri agak cepat.
Mungkin Mbak Sarah merasa takut rasa sakit, sehingga dia mempercepat gerakan jarinya.
“Sakit ya, Mbak?” tanyaku agak takut. Baru kepala zakarku saja yang terbenam. Aku mencoba untuk istirahat dari usahaku memasukkan zakar ke anus Mbak Sarah.
“Enggaaa, sayang…” jawab Mbak Sarah sambil terus memainkan jarinya.
“Pokoknya Mbak Sarah rileks aja, nggak usah tegang,” jawabku mencoba untuk meyakinkan Mbak Sarah ke sekian kalinya.
Aku mencoba menekankan zakarku lagi. Sebelumnya sudah aku tambahi pelumas di batang zakarku, dengan harapan akan mempermudah jalannya zakar masuk ke anus Mbak Sarah. Sedikit demi sedikit terasa kalau zakarku mulai masuk ke dalam anus Mbak Sarah.
“Aah…” desah Mbak Sarah. Rupanya dia sedang mengalihkan rasa sakitnya dengan cara menggosok klitorisnya. Kepala Mbak Sarah menempel di kasur dan jari-jari tangan kanan mempermainkan klitorisnya sendiri, sedangkan tangan kirinya meremas-remas payudara. Hanya di bawah perutnya tadi sempat aku ganjal dengan bantal sebanyak dua buah, supaya Mbak Sarah tidak kecapekan menahan beban badannya sendiri.
Semua batang zakarku sudah terbenam sepenuhnya ke anus Mbak Sarah. Tampak Mbak Sarah sudah mengendurkan ritme permainan pada klitorisnya.
“Mbak Sarah rileks aja, nggak usah tegang,” kataku sambil membungkukkan badan dan mengecup punggungnya. Aku raih payudara Mbak Sarah dan memilin-milinnya.
“Farriiid… terus diremas, sayang… Aku enak banget… Rasanya penuh banget di pantat,” erang Mbak Sarah merasa keenakan. Ternyata Mbak Sarah sangat menikmati sensasi baru tersebut.
OMG, enaknya! Sambil mengecupi punggung dan leher Mbak Sarah, aku mencoba memainkan klitoris untuk menambah kenikmatan Mbak Sarah. Saat itu yang aku rasakan ada kekuatan yang menjepit kemaluanku secara kuat. Sungguh beda sekali jika kita berhubungan dengan dimasukkan di serambi lempit. Sungguh tidak sebanding nikmatnya jika dibandingkan. Pokoknya, kalau pembaca [DS] belum pernah mencoba anal, cobalah! Nikmatnya sangat berlebihan. Sukar aku ungkap dengan kata-kata.
Sesaat aku terdiam untuk menikmati sensasi kenikmatan tersebut. Napasku terasa sangat memburu menahan gejolak birahi, sedangkan Mbak Sarah juga mengerang-erang keenakan.
“Fiuh, sangat nikmat sekali,” pikir aku. Aku mencoba menarik keluar dengan perlahan zakarku, dan memasukkannya lagi dengan perlahan ke anus Mbak Sarah.
“Aaakh… Riannn…” desah Mbak Sarah sambil terpejam. Aku nggak tahu desahan Mbak Sarah itu nikmat atau sakit. Yang jelas, aku hanya mencoba menstimulus Mbak Sarah dengan terus mengusap-usap klitorisnya. Gerakanku sudah mulai teratur iramanya. Dengan perlahan-lahan aku sudah mulai merasa lancar untuk menggerakkan maju mundur.
Tiba-tiba gerakan tanganku di klitoris Mbak Sarah diambil alih oleh tangan Mbak Sarah. Ternyata dia lebih suka melakukannya sendiri.
“Terus, Rian… Yang agak cepaat…” rengek Mbak Sarah. Tangan kanannya pun semakin cepat memainkan klitorisnya. Tangan kiri Mbak Sarah mencoba memasukkan jarinya ke dalam liang vaginanya.
“Terus, sayang… terus… Aku mau keluar…” racau Mbak Sarah. Semakin cepat gerakan tangan Mbak Sarah mengusap klitoris, semakin cepat pula gerakan maju mundur gerakanku memasukkan zakarku ke anus Mbak Sarah. Gila! Ternyata Mbak Sarah sangat menyukai cara berhubungan dengan anal. Terlihat hanya sekitar lima menit setelah aku mengoyak masuk ke dalam anus Mbak Sarah secara terus-menerus, Mbak Sarah ternyata mendekati orgasme. Aku percepat gerakanku. Sesekali aku melakukannya dengan agak kasar saat memasukkan zakarku.
Akhirnya Mbak Sarah mengejan keras dan mengerang keenakan. Tubuhnya bergetar hebat. Pahanya yang semula mengangkang kini menutup rapat. Dengan posisi kaki yang sudah lurus dan masih dengan posisi telungkup, tangan Mbak Sarah masih mengusap-usap area kewanitaannya.
Bisa dibayangkan rasa yang ada pada diriku. Mbak Sarah dalam posisi telungkup dan kaki mengangkang saja, yang aku rasakan zakarku sudah terasa terjepit enak. Apalagi jika Mbak Sarah mengejan mencapai orgasme dan posisi kakinya menutup rapat. Zakarku terasa sangat enak diselimuti sesuatu yang hangat, lembut, dan terasa sangat kuat dalam menjepit.
Mbak Sarah menggelinjang hebat. Dan aku pun mulai menindih dan memeluk Mbak Sarah seraya terus menggerakkan pantatku naik turun dengan cepat. Aku peluk Mbak Sarah sambil menciumi lehernya.
“Aaah, Mbak… Rian mau keluar, Mbak…” ucapku memberi isyarat pada Mbak Sarah sambil kedua tanganku bertumpu menahan beban badanku. Pantatku tak henti-hentinya bergerak naik turun.
“Keluarin di mulut aku ya, sayang…” pinta Mbak Sarah.
Aku nggak menjawabnya, akan tetapi aku mengerti maksud Mbak Sarah.
Gila! Bener-bener gila! Dari tadi aku yang menyangka Mbak Sarah tidak begitu pedé dengan serambi lempit maupun anusnya dikarenakan Mbak Sarah menganggapnya kotor. Tetapi sekarang malah Mbak Sarah meminta aku mengeluarkan spermaku di mulutnya. Padahal zakarku ‘kan masih masuk di anusnya dan dia sadar akan hal itu. Salut buat Mbak Sarah!
Sangat terasa sekali ada yang bakal mau meledak keluar dari dalam zakarku. Aku pun berusaha semakin mempercepat gerakan zakarku keluar masuk di lubang anus Mbak Sarah sambil terus memeluk tubuh Mbak Sarah dari belakang. Akhirnya, dengan gerakan agak tergesa, aku mencabut zakarku dari anus Mbak Sarah dan berdiri di lantai. Dengan badan yang aku sedikit mundur, aku mencoba memberi jalan Mbak Sarah untuk berposisi jongkok dengan kedua lutut bertumpu di lantai.
Zakarku kemudian direngkuh Mbak Sarah. Dengan sangat nafsu dia mulai mengocok zakarku sambil sesekali mengulumnya. Akhirnya pertahananku jebol setelah sekian jam menyimpan amunisi. Aku mencoba memegang kepala dan mengelus rambutnya Mbak Sarah yang sedang sibuk melumat kemaluanku. Dengan tangannya yang halus Mbak Sarah mengurut zakarku sambil mengarahkan zakarku ke mulutnya. Mbak Sarah menatapku sayu sambil sedikit mengangakan mulutnya.
“Mbaak… aku keluaaar…” erangku sambil menjambak rambut Mbak Sarah. Dengan cepat kemudian Mbak Sarah memasukkan kepala zakarku ke mulutnya dan terus mengocoknya. Badanku bergetar hebat ketika spermaku keluar, memasuki rongga mulut Mbak Sarah yang mungil. Terasa hangat. Seluruh sendi tulangku serasa lepas saking nikmatnya. Mbak Sarah pun sesekali memainkan buah zakarku yang mengeras.
“Aah, sangat nikmat sekali… Sensasi yang aku rasakan sangat komplit,” pikir aku.
Mbak Sarah akhirnya melepaskan kuluman pada zakarku. Terasa agak ngilu ketika Mbak Sarah melepaskan kulumannya. Dengan mulut masih tertutup rapat, Mbak Sarah bergegas mengambil tisu di atas meja kecil. Sekitar 4 helai dia ambil, kemudian dia memuntahkan spermaku yang ada di mulutnya ke tisu tersebut.
“Enak ya, sayang…” kata Mbak Sarah seraya menaruh tisu yang berisi spermaku tersebut di sebelahnya. Dia memelukku dan mengecup dadaku.
“Iya, sayang… sangat enak sekali,” sahutku sambil mengecup keningnya dan balas memeluknya.
Kami pun sejenak lupa jika hubungan di antara kami adalah terlarang (menurutku lho). Mbak Sarah adalah kakak kandung teman akrabku, yaitu Doni. Dan aku mengkhianati temanku tersebut.
Aku melihat ke arah jam tanganku. Jam 3.30 pagi hari. Berharap saja dalam hati kalau Doni tidak terbangun dan memergoki kami berdua. Mau ditaruh mana mukaku jika ketahuan aku meniduri kakak kandungnya. Lama kami berpelukan dengan keadaan telanjang.
Akhirnya aku bergegas memakai pakaianku lagi. Sambil berpamitan ke Mbak Sarah yang masih keadaan telanjang bulat, hanya tertutup selimut untuk menepis dinginnya AC yang ada di kamar Mbak Sarah. Aku kecup kening Mbak Sarah.
“Makasih ya, Mbak, atas semuanya…” ucapku sambil menatapnya dengan hangat.
“Rian, pintu kamar ini selalu terbuka untukmu, sayang,” jawab Mbak Sarah sambil mendekapku.
Yang aku ingat dengan jelas saat Mbak Sarah berkata bahwa dia suka padaku semenjak awal kami berkenalan. Nggak peduli kalau dia sudah punya pacar dan aku pun juga punya pacar yang setia.
Hubunganku dengan Mbak Sarah hanya bertahan sekitar 1 tahun. Pernah suatu saat aku akhirnya kepergok oleh asisten rumah tangga Mbak Sarah, namanya Bi Tati. Aku takut kalau Bi Tati akan melaporkan hal ini kepada Doni. Untuk menghindari kepergok lagi, kami pun sering pergi ke Lembang, hanya untuk sekadar melampiaskan hasrat kami. Sering kali Mbak Sarah menjemput di kosku dengan menggunakan mobilnya, baik itu malam maupun siang.
Tidak ada komentar